Dua pertiga malam sebelum
matahari pagi merebak di Sabtu yang senggang, sajadah dan sepasang mukenah
parkir mentereng di sandaran kursi. Malam itu ku rampungkan ibadah lail,
sembari menunggu mata kembali disapu kantuk aku mengisi jeda itu dengan
memelintir gadget, tidak ada yang istimewa serba semenjana, ada yang memamerkan
pasangannya, keluarganya, harta benda, sahabat, jabatan, dan keilmuannya dalam
berbagai model verbal yang berbasa-basi, mentah, juga matang, semua komplit di
pertemanan sosial mediaku bak toko campuran yang menyediakan barang varian apa
saja.
Masih sambil menunggu kantuk yang
tak kunjung datang, aku sudah beralih membaca Novel yang ditulis oleh
penulisnya, tiba-tiba dibuyarkan oleh pemberitahuan dari gadget, permintaan
pertemanan di salah satu jejaring sosialku. Aku termasuk orang yang
memilah-milih orang yang akan ku konfirmasi, biasanya indikator pertama adalah
berapa jumlah teman yang sama, dan teman yang sama itu mesti dari komunitas
pertemananku yang mana di dunia nyata, apatah teman SMA, teman kampus dan
seterusnya, bila ternyata banyak pertemanan yang sama maka dengan mudah akan ku
konfirmasi. Kebetulan akun yang mengajukan permintaan pertemanan tersebut dari
salah satu komunitasku di dunia nyata, ku sebut saja sekampus, maka cukup mudah
untuk menggerakkan ibu jariku mengklik “konfirmasi”. Tidak butuh seratus purnama,
hanya beberapa menit, akun yang baru saja ku konfirmasi itu menyapa lewat chat,
pada diriku yang amat tidak senang menyantap basa-basi tentu saja chat semacam
itu ku abaikan.
Seminggu berselang, di hari Sabtu
pagi yang penuh tekanan kemalasan, pukul Sembilan pagi dan aku belum mandi,
tertahan oleh gravitasi kasur yang menarikku lebih kuat, sambil mengumpul
kekuatan untuk bertarung melawan basah di kamar mandi aku mencandai rasa sepiku
dengan menggodai layar gadget, lalu ku dapati lagi si akun yang seminggu lalu
itu menyapaku lewat chat, kali ini dia datang dengan menenteng deretan nama pesohor
sastra yang dijadikan santapan pembicaraan, terasa sangat serius dan membuatku
secara sukarela tertarik membalas dan menyambut tentengan itu, kami akhirnya
terlibat dalam pembicaraan yang mengalir, tidak genang dan keruh. Latar belakang
dari kampus yang sama membuat kami tidak kesulitan untuk sambung menyambut
keramahan dan menemukan bahasan lain yang akrab walau belum bersua di dunia
nyata.
Setiap aliran menuju muara, di
sana yang sebelumnya mengalir itu menuju untuk kemudian tertampung, demikian
dengan komunikasi kami, hanya tiga hari berselang hingga dia sudah begitu
berani menyatakan suka, cinta dan keinginan untuk bersama, bukannya merasa
panahan bagiku justru itu semacam padahan, sungguh telah banyak hal yang
disangsikan oleh perasaan yang datang dengan begitu ringan dan seketika bahkan
tanpa sua rupa, aku paham tidak semua perasaan membutuhkan waktu yang lama juga
tatap fisik, tapi terlalu cepat itu juga mengherankan kendati dikata cinta
adalah sebentuk rasa yang tidak terjelaskan dengan akal pikiran, namun tetap
saja “lucu” menurutku jika cinta datang seperti dikejar pemangsa.
Bagaimana pun neouron dan
perasaanku mencoba melakukan pemakluman pada cinta yang buru-buru, tetap saja
ku bilang itu gampangan, maka dengan penuh hormat ku nyatakan jawabanku padanya
dengan maksud ia merenungkan perasaannya sekali lagi, hebatnya ia mendelik
bahwa perasaannya adalah sebenarnya cinta dan akan ia perjuangkan sampai aku
percaya. Bagiku, merasa adalah asasi, urusan yang punya perasaan, jika ia mau
berjuang seperti katanya maka tugasku adalah tidak menghalang-halangi sejauh itu
tidak melabrak hakku yang asasi pula.
Dua hari berselang, setelah di
hari Selasa sebelumnya ia melontarkan kata cinta beserta anak pinaknya, Jum’at
sore, ku buka salah satu jejaring sosialku yang lainnya lalu ku dapati seorang
wanita mempost foto yang mesra
bersama seorang lelaki, lelaki yang tidak asing rupanya, pada postingan
tersebut terdapat keterangan berpacaran pada hari itu juga, Jum’at, ringan
sekali kalimat si wanita dalam posting itu “Tidak butuh waktu lama untuk
mengatakan iya untukmu, semoga hari ini adalah awal untuk waktu yang lama”. Persis
di dua hari setelah kau menyatakan cinta dan perjuangan padaku, rupanya kau
sudah sukses menggait hati di tempat lain, sungguh perasaanmu itu berseliweran.
Jum’at malam hari, kau kembali
menyapaku lewat chat, masih seperti biasa dan aku pun dengan bijak
berpura-pura, sangat bijak, seolah tidak ada kebenaran yang baru saja terkuak. Ah
parodi perasaan dan kebohongan, sungguh selalu jadi tontonan yang memukau. Baru
saja kau menjalin kasih dengan perempuan lain, dan di hadapanku kau seolah
tidak terjadi apa-apa, padahal tidak lain sedang memerdekakan kebuasanmu.
Kau seperti nelayan yang memasang
jaring dibanyak tempat untuk mengangkut ikan, dari semua yang tersangkut di
jaringmu ego akan menuntunmu serakah atau mencampakkan yang tidak kau
kehendaki, sangat brutal tak berperi. Aku tidak sedang mengurai rasa sakit atau
kecewa yang ditimbulkan karena adanya harapan akan diperjuangkan atau lebih
oleh setiap mereka yang menyatakan perasaan, tapi perasaan bukan sesuatu yang
seenaknya digampangkan datang dan pergi secara impulsif, setidaknya jika
perasaan yang dimaksud barulah sebatas reka-reka dugaan maka jangan keburu
dinyatakan sampai telah benar-benar yakin itu adalah sebentuk perasaan yang
patut diikhtiarkan secara konsisten dan konsekuen.
Tidak bisa ku bayangkan jika
ternyata kita-kita ini adalah manusia yang terlahir dari luapan perasaan
ayah-ayah kita masing-masing yang sifatnya hanya impulsif ke ibu-ibu kita,
betapa setiap ibu akan membesarkan anaknya dengan banyak susu pedih dan bubur
luka, dan berapa banyaknya diantara kita ternyata adalah saudara seayah ke-impulsif-an.
Pada akhirnya, Ini hati bukan tali yang layak ditarik ulur, pun tali, jika
kelamaan kau tarik ulur akan putus juga, ku bingkis satu oleh-oleh dari
perkenalan kita untukmu “mulut terdorong, emas padahannya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar