Assalamualaikum Abdillah,
Namaku Satia, Ara Satia aku 19 tahun, terancam 20 tahun sebentar
lagi, hanya hitungan detik dikalikan delapan hari, aku suka bulan, saat aku menulis
surat ini, ini tepat pukul 19.02 Waktu Jam Dinding Tua ayahku, jam yang konon
dibeli sehabis panen jagung ayahku sekitar 6 bulan 22 hari sebelum aku
bersarang di perut brojol ibuku, hebat, ayahku bahkan tahu dalam laga mana ia
berhasil mencetakku hingga bertengger di gawang ibu, soal jam, memang dibiarkan
tak diganti, "biar jamnya usang karna waktu juga akan usang", begitu
kata ayahku, tapi menurutku jika sudah rusak mau tak mau akan diganti, karna
kita mesti tahu berputarnya waktu yang usang ini, kau sependapat denganku
Abdillah? Kalau tidak, tidak apa-apa, aku memang telah mendengar bahwa kau
cukup egois.
Jangan kaget dengan suratku ini Abdillah, percayalah aku bukan
wanita cantik dari barat, juga bukan anak konglomerat, bukan putri seorang
aristokrat (apa itu aristokrat Abdillah? Aku hanya menggunakannya karna Zainab
sering menyebutmu begitu, dan biar suratku sedikit mencuri perhatianmu aku terpaksa
menggunakan istilah yang tak ku tahu, tidak apa-apalah, nanti juga akan ku
tahu), seperti yang ku katakan di atas ayahku pernah memanen jagung, berarti
ayahku bertani jagung, kau pasti akan langsung pahamkan? bahwa aku anak petani
jagung setelah di paragraf sebelumnya aku sedikit menyinggung soal jam dinding,
jadi aku tidak perlu mengatakan bahwa aku anak petani jagung (apa kalimat ini
menunjukkan bahwa aku sudah mengatakannya? Ah entahlah) yang ingin ku katakan
aku bukanlah seseorang yang luar biasa, aku hanya anak petani jagung (aku
mengatakannya lagi, tidak apa-apa, takutnya kau tidak mengerti) ayahku memiliki
6 ha luas lahan yang ditanami jagung, bisa tiga kali panen setahun, hebat
bukan? Kau percaya? Aku juga tidak percaya jika jadi kau, maka datanglah ke
kampungku biar kau lihat sendiri, bila tak benar begitu, mungkin aku memang
sedang bergurau, tapi tidak, aku serius Abdillah, bisalah para insinyur
pertanian itu berguru pada ayahku, jika kau datang ku ajak kau menikmati jagung
ayahku. Ayahku hebat Abdillah dia akan berpuisi jika satu batang jagungnya saja
diserang hama, maka bayangkan berapa puisi ayahku hingga hari ini. Ah kenapa
aku mesti menceritakan ayahku? Bukan itu maksud surat ini.
Saat aku tiba di paragraf ini, sekarang pukul 19.12 masih berdasarkan
waktu jam dinding usang ayahku. Kenapa aku selalu melihat jam? Zainab berkata
padaku "waktu juga menghitungmu, maka hitunglah balik, biar kau tak
kalah", karna itu aku sering melihat jam, setidaknya sejak 6 bulan
belakangan ini, semenjak aku mengenal Zainab.
Malam ini angin meliuk-liuk, bulan menggantung indah 1/6 dari
lingkaran purnama Abdillah, begitulah juga surat ini akan bercerita, tentang
1/6, tentang aristokrat, tentang kemasyhuran, tentang keluguan, tentang nisan
tanpa nama. Surat ini akan terbagi dalam beberapa rangkaian, akan ku ceritakan
tentang wanita yang kau gasak hatinya dengan janji cinta dan kedatangan yang
tak kunjung kau penuhi, Zainab, wanita dengan wajah yang kusai masai lantaran
menantimu setiap pagi hingga malam lelap di bawah pohon mangga rimbun di depan
rumahnya, seperti janjimu, akan bertemu lagi dengannya di situ, tapi kau
memberinya janji semu, setidaknya aku layak mengatakan begitu.
Sesuai kataku surat ini akan berangkai, maka sebagai awal ku
rasa cukup dulu sampai di sini, kau sudah tahu sedikit siapa aku dan apa maksud
suratku, pada surat selanjutnya aku akan mulai bercerita sesuai apa yang ku
katakan di atas tentang 1/6 dan bla bla bla tentang Zainab!!
Tinta pulpenku nyaris habis, aku masih membutuhkannya untuk
menulis puisi selepas shalat subuh sebentar, aku tak bisa membeli pulpen lain
lagi, tak ada toko yang buka malam begini, ini pelosok Abdillah kau tahu itu.
Ku titip surat ini pada Amanah, katanya ia pernah melihatmu di
Kota Bedebah, entah bagaimana surat ini akan sampai padamu, kalau surat ini
sampai ke tanganmu, maka aku takkan kapok menitip surat pada Amanah, 3 bulan
sekali ia ke Kota Bedebah, istri dan anaknya ada di sana, ah sudahlah tintaku
bisa habis sebelum sempat menggurat puisi. Nantikan rangkaian suratku Abdillah.
Hormatku
Satia (Sahabat, Saudari, Tempat Curhat, Kawan Sehati, Pemerhati Zainab)
Satia (Sahabat, Saudari, Tempat Curhat, Kawan Sehati, Pemerhati Zainab)
Desa Nangka
22 Februari 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar