Kamis, 18 Februari 2016

SURAT PERKENALAN (PEREMPUAN MENGERTI)

Assalamualaikum Abdillah,
Namaku Satia, Ara Satia aku 19 tahun, terancam 20 tahun sebentar lagi, hanya hitungan detik dikalikan delapan hari, aku suka bulan, saat aku menulis surat ini, ini tepat pukul 19.02 Waktu Jam Dinding Tua ayahku, jam yang konon dibeli sehabis panen jagung ayahku sekitar 6 bulan 22 hari sebelum aku bersarang di perut brojol ibuku, hebat, ayahku bahkan tahu dalam laga mana ia berhasil mencetakku hingga bertengger di gawang ibu, soal jam, memang dibiarkan tak diganti, "biar jamnya usang karna waktu juga akan usang", begitu kata ayahku, tapi menurutku jika sudah rusak mau tak mau akan diganti, karna kita mesti tahu berputarnya waktu yang usang ini, kau sependapat denganku Abdillah? Kalau tidak, tidak apa-apa, aku memang telah mendengar bahwa kau cukup egois.
Jangan kaget dengan suratku ini Abdillah, percayalah aku bukan wanita cantik dari barat, juga bukan anak konglomerat, bukan putri seorang aristokrat (apa itu aristokrat Abdillah? Aku hanya menggunakannya karna Zainab sering menyebutmu begitu, dan biar suratku sedikit mencuri perhatianmu aku terpaksa menggunakan istilah yang tak ku tahu, tidak apa-apalah, nanti juga akan ku tahu), seperti yang ku katakan di atas ayahku pernah memanen jagung, berarti ayahku bertani jagung, kau pasti akan langsung pahamkan? bahwa aku anak petani jagung setelah di paragraf sebelumnya aku sedikit menyinggung soal jam dinding, jadi aku tidak perlu mengatakan bahwa aku anak petani jagung (apa kalimat ini menunjukkan bahwa aku sudah mengatakannya? Ah entahlah) yang ingin ku katakan aku bukanlah seseorang yang luar biasa, aku hanya anak petani jagung (aku mengatakannya lagi, tidak apa-apa, takutnya kau tidak mengerti) ayahku memiliki 6 ha luas lahan yang ditanami jagung, bisa tiga kali panen setahun, hebat bukan? Kau percaya? Aku juga tidak percaya jika jadi kau, maka datanglah ke kampungku biar kau lihat sendiri, bila tak benar begitu, mungkin aku memang sedang bergurau, tapi tidak, aku serius Abdillah, bisalah para insinyur pertanian itu berguru pada ayahku, jika kau datang ku ajak kau menikmati jagung ayahku. Ayahku hebat Abdillah dia akan berpuisi jika satu batang jagungnya saja diserang hama, maka bayangkan berapa puisi ayahku hingga hari ini. Ah kenapa aku mesti menceritakan ayahku? Bukan itu maksud surat ini.
Saat aku tiba di paragraf ini, sekarang pukul 19.12 masih berdasarkan waktu jam dinding usang ayahku. Kenapa aku selalu melihat jam? Zainab berkata padaku "waktu juga menghitungmu, maka hitunglah balik, biar kau tak kalah", karna itu aku sering melihat jam, setidaknya sejak 6 bulan belakangan ini, semenjak aku mengenal Zainab.
Malam ini angin meliuk-liuk, bulan menggantung indah 1/6 dari lingkaran purnama Abdillah, begitulah juga surat ini akan bercerita, tentang 1/6, tentang aristokrat, tentang kemasyhuran, tentang keluguan, tentang nisan tanpa nama. Surat ini akan terbagi dalam beberapa rangkaian, akan ku ceritakan tentang wanita yang kau gasak hatinya dengan janji cinta dan kedatangan yang tak kunjung kau penuhi, Zainab, wanita dengan wajah yang kusai masai lantaran menantimu setiap pagi hingga malam lelap di bawah pohon mangga rimbun di depan rumahnya, seperti janjimu, akan bertemu lagi dengannya di situ, tapi kau memberinya janji semu, setidaknya aku layak mengatakan begitu.
Sesuai kataku surat ini akan berangkai, maka sebagai awal ku rasa cukup dulu sampai di sini, kau sudah tahu sedikit siapa aku dan apa maksud suratku, pada surat selanjutnya aku akan mulai bercerita sesuai apa yang ku katakan di atas tentang 1/6 dan bla bla bla tentang Zainab!!
Tinta pulpenku nyaris habis, aku masih membutuhkannya untuk menulis puisi selepas shalat subuh sebentar, aku tak bisa membeli pulpen lain lagi, tak ada toko yang buka malam begini, ini pelosok Abdillah kau tahu itu.
Ku titip surat ini pada Amanah, katanya ia pernah melihatmu di Kota Bedebah, entah bagaimana surat ini akan sampai padamu, kalau surat ini sampai ke tanganmu, maka aku takkan kapok menitip surat pada Amanah, 3 bulan sekali ia ke Kota Bedebah, istri dan anaknya ada di sana, ah sudahlah tintaku bisa habis sebelum sempat menggurat puisi. Nantikan rangkaian suratku Abdillah.

Hormatku
Satia (Sahabat, Saudari, Tempat Curhat, Kawan Sehati, Pemerhati Zainab)
Desa Nangka

22 Februari 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar